YANG PERTAMA
Aku sedang memeluk lututku, duduk di tepi pantai itu. Pandanganku menerawang ke ujung horison yang berada tepat di depan mataku. Matahari perlahan beranjak pergi. Bulan sudah tak sabar ingin menguasai malam. Hatiku terasa nyeri. Mengenangmu, membuatku lemah tak berdaya. Ini salahku. Bukan salahmu. Aku begitu mencintaimu hingga sanggup melepaskanmu. Padahal aku tahu, aku tak akan bisa berdiri tegak tanpa dirimu di sisiku. Setelah berpuluh tahun, aku tetap mencintaimu. Dan akan selalu begitu sepertinya.
Bulir bening mulai mengalir dari mataku. Sungguh aku tak sanggup. Walaupun kau telah memintaku untuk berhenti mencintaimu, tapi aku tetap tak sanggup melakukannya. Sungguh....
Aku terus mengingatnya, mengenangnya, perjumpaan dengan dirimu. Dirimu yang kuanggap biasa-biasa saja. Ternyata sungguh luar biasa. Sungguh, hari itu akan selalu kuingat. Hari ketika tanpa kusadari, aku begitu ingin berada disampingmu.
Aku masih empat belas tahun kala itu. Hahaha...masih kecil ya? Kata orang-orang aku pintar, kalem, keras kepala. Temanku juga gak banyak. Rata-rata temanku adalah orang-orang yang pada umumnya disebut para kutu buku. Mungkin aku juga termasuk tipe itu, makanya aku bisa bergaul dengan mereka. Hari itu, hari pertama penataran P4 (sekarang namanya masa orientasi) di SMA. Hari itu, aku bangga sekali menjadi murid SMA. Walo masih belum sah, karena masih pake seragam putih-biru. Di kelas yang sudah dibagi, aku pertama kali melihatmu. Bocah tengil yang banyak tingkah, ketawanya juga gede banget. Ih...males banget deh... Kamu tuh tipe yang paling aku hindari. Pasti bandit kelas yang suka bikin anak cewek nangis. Dan kamu memang begitu.
Hari kedua penataran, ada diskusi kelompok. Aku dibanggakan oleh guru, sebagai siswi yang pandai dalam berbicara, yang sudah mengantongi berbagai penghargaan untuk lomba debat, pidato, dan sebagainya. Aku cukup berbangga hati. Sungguh, kalau kau tahu diriku, kamu akan tahu bagaimana bangganya memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Kemudian, kelompokmu dan kelompokku pun dipasangkan untuk saling mendebat. Aku yang awalnya yakin bisa mengalahkanmu, kemudian harus menelan kedongkolan yang teramat dalam. Bagaimana mungkin cowok tengil, bandit, dan banyak tingkah seperti kamu punya wawasan seluas itu, kata-kata sedahsyat itu? Siapa dirimu? Aku tergugu dalam kekalahanku. Senyum kemenanganmu waktu itu, yang kau tujukan padaku, terlihat seperti senyum kemenangan yang merendahkanku. Senyum yang kemudian sangat kurindukan. Hanya butuh sedetik, untuk merubah rasa benciku padamu, saat kau kemudian berbisik disebelahku, sambil menepuk lembut pundakku, dan berkata, "Kamu cewek yang hebat.." Punggungmu yang berlalu dihadapanku, senyummu yang tiba-tiba menyejukkan hatiku, sungguh telah membuatku jatuh cinta, untuk pertama kalinya......
No comments:
Post a Comment